Bertamasya Ke Alam Ide

Masalah Pluralisme dalam Sistem Hukum Nasional

Soetandyo Wignjosoebroto 

Dari old societies ke new state

 Perkembangan hukum nasional di mana-mana di dunia ini telah berlangsung seiring dengan pekembangan kekuasaan negara-negara bangsa. Tak pelak lagi kenyataan memang demikian, karena apa yang disebut hukum nasional itu pada hakikatnaya adalah hukum yang kesahihan pembentukan dan pelaksanaannya bersumber dari kekuasaan dan kewibawaan negara. Tatkala kehidupan berkembang ke dalam skala-skala yang lebih luas, dari lingkar-lingkar kehidupan komunitas lokal (old societies) ke lingkar-lingkar besar yang bersifat translokal pada tataran kehidupan berbangsa yang diorganisasi sebagai suatu komunitas politik yang disebut negara bangsa yang modern (new nation state), kebutuhan akan suatu sistem hukum yang tunggal dan pasti (alias positif) amatlah terasanya.  Maka gerakan ke arah unifikasi dan kodifikasi hukum terlihat marak di sini, seolah menjadi bagian inhern proses nasionalisai dan negranisasi serta modernisasi yang amat berkesan mengingkari eksistensi apa pun yang berbau local dan tradisional.

Namun apa yang disebut lokal dan tradisional itu sesungguhnya berumur lebih tua, dan lebih mengakar dalam sejarah, daripada apa yang nsaional dan modern itu. Hukum setempat – sekalipun tak tertulis dan tak memiliki ciri-cirinya yang positif – dalah sesungguhnya hukum yang lebih memiliki makna social daripada hukum yang terwujud dan tegak atas wibawa kekuasaan-kekuasaan sentral pemerintah-pemerintah nasional. Dibandingkan hukum nasional yang state law itu, hukum local yang Falk law itu memang tak mempunyai struktur – strukturnya yang politik, namun kekuatan dan kewibawaannya memang tidak tergantung dari struktur-struktur yang politik itu melainkan interpretatif-interpretatifnya yang amoral dan cultural. Maka dalam bingkai-bingkai kesatuan, pilitik kenegaraan yang satu dan bersatu dalam konteks-konteksnya yang nasional, tetap tertampakanlah pluralitas dan keragaman yang kultural dalam konteks-konteksnya yang local dan subnasional. Tak pelak lagi, di negeri-negeri yang berkultur bhineka namun yang tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (lewat berbagai ikrar dan pernyataan tekad) eksistensi hukum nasional – yang memanifestasikan nasionalisme politik – itu selalu menghadapi maslah pluralisme hukum-hukum local yang memanifestasikan kesetiaan-kesetiaan dan kebutuhan-kebutuhan local.

 

 

Folk law versus state law

Sesunguhnya intitusi negara nasional itu merupakan invnsi dan sekaligus juga bagian dari pengalaman sejarah bangsa-bangsa Eropa. Pengalaman ini terpelajari dan kemudian tertiru tatkala nbangsa-bangsa Eropa itu tak hanya bertindak sebagai penjajah-penjajah melainkan juga menampilakan diri sebagi “guru-guru” berbagai bangsa ditanah jajahannya. Konsep negara bangsa yang tak hany bersifat translokal akan tetapi juag territorial, dengan sara penertibnya yang disebut hukum nasional yang diunifikasikan dan dikodifikasikan, serta merta menajdi tertiru dan dicoba direalisasi di negeri-negeri Timur ini tatkala bangsa-bangsa terjajah ini pada suatu ketika menjadi medeka dan menetukan nasibnya sendiri dalam suatu kehidupan benegara. Akan tetapi, adakah model negara-negara bangsa yang Eropa itu dapat begitu saja ditiru dan diduplikasikasi untuk menyelenggarakan kehidupan bebangsa dan bernegara bangsa Eropa yang bertumpu pada suatu kesatuan kulutur yang homogen diduplikasi begitu saja untuk membangun satuan kehidupan yang ternyata berkultur plural dan karena itu juga akan mencuatkan masalah pluralitas dalam ihwal hukum-hukum subnasion yang kini harus eksis di tengah cita-cita kesatuan itu?

Masalah pluralitas hukum sebgai akibat pluralitas kultur lokal yang subnasion memang tak demikain terasa dalam pengalaman perkembangan nation state di Eropa pada masa 1-2 abad yang lalu. Dalam pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa Barat, hukum yang “dibuat” dan digunakan oleh organisasi negara sebagai hukum nasional memang hukum yang subtasnsinya dan pada esensinya sama tatau tak jauh berbeda dengan kaidah-kaidah local. Ketika Napoleon mengundangkan 3 kitab hukum pada awal abad 9 di Prancis, misalnya, isi ketiga kodifikasi yang disiapkan oleh sebuah Panitia Negara itu sebenarnya tak lain dari pada hasil perekaman kembalai kaidah-kaidah social yang secara de facto telah berlaku dan dianut oleh masyarakat lokal di negeri itu. Dengan demikian, bagi rakyat menaati kaidah-kaidah hukum yang diundangkan itu adalah sama saja dengan menaati kaidah-kaidah yang selama ini telah diakui berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Disini subtansi kedua kategori kaidah itu – yang folk law dan yang state law – tidaklah banayak berbeda. Maka anggapan hukum bahwa “setiap orang dianggap mengetahui isi setiap undang-undang negara”, dan bahwa “tak seorang pun boleh mengelak dari hukuman hanya dengan dalih bahwa ia tak mengetahui hukumannya” (ignoratio juris), tidaklah akan menimbulkan keberatan apa-apa di Prancis itu.

Halnya menjadi amat berbeda ketika hukum Prancis yang dikodifikasikan itu akan diterapkan di Jerman dan di Austria tatkala kekuasaan Napoleon berekspresi ke seluruh pnejuru benua Eropa dengan maksud ikut mengekspansikan hukum kodifikasinya itu. Jerman dan Austria memiliki trakaidah hukum masyarakat hukum rakyat sendiri – yang tumbuh dan berkembang menurut sejarah – dan yang tentu saja berbeda dari kaidah – kaidah soail dan kaidah adat masyarakat Prancis yang telah dikodifikasikan itu. Menerima kodifikasi hukum prancis yang asing itu dengan demikian akan berarti menerima kaidah-kaidah yang bersumber dari kekuasaan negara (yang waktu itu berkehendak meresepsi hukum Prancis), yang kandungan normatifnya ternyata berbeda dari kandungan noramatif kaidah-kaidah soal yang dianut masyarakat setempat. Eugen Ehrilch, seorang sarjana Austria pada masa itu, menyatakan bahwa pada waktu itu dapat disinyalir bahwa hukum negara (yang diambil dari Prancis itu) amat berbeda dari hukum yang dianut rakyat dengan segala keyakinannya ditengah masyarakat. Pengalaman Austria itu telah mendemontrasikan bahwa segera ranah juridikasi hukum negara yang formal dan positif itu memasuki ranah cultural yang berbeda, sesegera itu pula masalah pluralisme cultural pada masyarakat-masyarakat setempat dan bermula.

Pengalaman Austria yang diutarakan di muka itu pernah pula dialami oleh Indonesia (yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda, suatu daerah jajahan Belanda). Ketika pada pertengahan abad 19 sampai awal abad 20 ini pemerintah Hindia memutuskan untuk memberlakukan hukum perdata Belanda (yang telah dikodifikasikan menurut model hukum kodofikasi Napoleon itu). Reaksi-reaksi timbul dengn keresnya dari beberapa kalangan sarjana Belanda yang berwawasan sosiologis dan histories. Van Vollenhoven mencanangkan pendiriannya yang berbunyi “geen juristenrecht voor de Inlanders” (tidak akan ada hukum yang cuma dimengerti pakar-pakar hukum bisa diterapkan untuk rakyat pribumi yang dalam kehidupannya sehari-hari telah memiliki tata cara hukumnya sendiri). Lebih pantaslah kiranya apabila hukum rakyat (yang oleh van Volenhoven dan Snouck Hurgronje pendahulunya disebut “hukum adat” itu) direkam dan dipelajari dulu untuk kemudian dikodifikasikan untuk memedomi tidakan-tindakan hukum rakyat itu sendiri.

Penerus van Vollenhoven, ialah ter Haar dan para muridnya yang belajar di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (yang pada waktu itu bernama rechtshogeschool te Batavia) mulai bekerja di lapangan untuk mencatat kaidah-kaidah social (adat) komunitas-komunitas dengan sanksi-sanksi. Hasil-hasil kerja di lapangan itu dicatat dan diterbitkan dalam buku-buku dan majalah-majalah hukum, dan acap kali (walaupun tidak diresmikan sebagai kodifikasi) dipakai sebagai rujukan oleh hakim-hakim pengadilan negeri yang mengdili perkara-perkara antara orang-orang pribumi. Berkat perjuangan van Vollenhoven dan ter Haar serta para penerusnya itu, pada zaman Hindia Belanda itu hukum negara yang diterapkan (oleh badan-badan yudisial pemerintah colonial) yang menjadi tidak – atau tidak banyak – menyimpang dari hukum yang hidup ditengah-tengah masayarakat.

Dari uraian-uraian yang dipaparkan di muka itu terkesan bahwa hukum negara yang tertulis dikitab-kitab dan dokumen-dokumen – dulu disebut hukum colonial dan yang kini disebut hukum nasional – itu tidak selamanya mencerminkan hukum rakyat yang berbagai –bagai itu terkadang bukan pula disebabkan oleh ketidaksadaran melainkan juga sering karena ketidaksediaanya. Kenyataan seperti itu sesungguhnya mencerminkan pula telah bterjadinya apa yang disebut cultural conflict. Isi kaidah yang terkandung dalam hukum negara dengan yang terkandung dalam hukum yang dianut rakyat tidak hanya tak bersesuaian satu sama lain melainkan juga bahkan acap kali bertentangan.

Ambisi Unifikasi Hukum Nasional dan Konsekuensinya

Pengalaman “mendamaikan” isi kandunagan hukum antara hukum yang diberi sanksi negara dengan hukum rakyat (atau sebut saja kaidah-kaidah sosial yang tersosialisasi dan diyakini oleh warga masyarakat-masyarakay lokal) sebagaimana diperoleh pada jaman kolonial – dan sedikit banyak boleh dibilang sukses – itu ternyata justru sulit dilaksanakan pada zaman kemedekaan. Pluralitas hukum rakyat yang diakui berlaku sebagai living law berdasarkan paham partikularisme pada zaman kolonial tidaklah mudah diterusukan pada zaman kemerdekaan. Cita-cita nasional untuk “menyatukan” Indonesia sebagai satu kesatuan politik dan pemerintah telah cenderung untuk mengabaikan hukum rakyat yang plural dan lokal-lokal itu untuk diganti dengn hukum nasional yang diunifikasikan dan tak pelak juga dikodifikasikan. Kebijakan hukum nasional ditantang untuk merealisasi cita-cita memfungsikan kaidah-kaidah sebagai kekuatan pembaru, mendorong terjadinya perubahan dari wujud masyarakat-masyarakat lokal yang berciri agraris dan berskala-skala lokal ke kehidupan-kehidupan baru yang lebih berciri urban dan industrial dalam format dan skalanya yang nasional (dan bahkan kini juga global).

Karena perubahan cita-cita itu acap kali bermula dari cita-cita para pemegang kendalai kebijakan pemerintah, sedangkan kesetiaan warga masyarakat pada umumnya (khususnya dari lapisan bawah yang kurang terdidik secara formal) lebih terlanjut ke nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang dikukuhi secara konservatif selama ini di dalam komunitasnya, maka terjadilah tegangan yang terasa saling memaksa antara pemerintahan beserta para elit pendukungnya dengan lapis-lapis masyarakat awam. Pengendali kebijakan negra mencita-citakan perubahan kea rah pola kehidupan yang baru modern, industrial dan berkesetiaan nasional; sedangkan masayarakat awam yang pad umumnya cenderung konservatif untuk lebih banyak menyuarakan suara ragu akan manfaat dan kebijakan perubahan itu. Kenyataan memang membuktikan bahwa (misalnya) sesegera kepemilikan harus disumberkan kesahaannya pada hukum nasional, sesegera itu pula banyak warga masyarakat yang tahunya cuma hukumnya sendiri yang lokal itu menjadi terancam kesulitan untuk kemudian kehilangan banyak hak.

Banyak kebijakan yang tertuang dan dipositifkan kedalam banyak perundang-undangan nasional yang berbeda dengan kelaziman-kelaziman yang telah diadatkan dalam hukum rakyat. Perhatikan juga misalnya di bidang pranata perkawinan tetang kedudukan isteri terhadap suami. Menjelang era industrialisasi, pembanguan yang dikembangkan pemerintah mengundang (atau mengharuskan?) pula partisipasi kaum wanita. Tak pelak lagi kedudukan wanita dalam masyarakat harus diangkat terlebih dahulu bersansikan hukum perundang-undangan nasional agar dapat segera bersejajar dengan kedudukan pris. Dilindungi oleh hak-hak yang dijamin oleh hukum negara, kini wanita-wanita (misalnya) tak akan mudah diceraikan begitu saja, tak mudah dimadu begitu saja, dan tambahan lagi tak akan boleh dikwini atau dikawinkan dalam usia yang masih terlalu muda (dank arena itu akan merampas kesempatan mereka untuk maju lewat pendidikan). Hak dan kedudukan wanita yang baru sebagimana diberikan oleh dan di dalam hukum seperti yang resmi diciptakan oleh pemerintah itu nyata kalau tidak akan di dapati dalam hukum atau kaidah sosial yang dianut rakyat awam selam ini. Preundang-undangan negara demikian mengundang alternative baru, yang dengan sanksi hukum negara malahan dipandang sebagai satu-satunya kaidah yang harus dituruti dan ditaati semua warga masyarakat tanpa kecualinya. Akan tetapi adakah alternative yang baru ini selalu dapat memenuhi kebutuhan hukum rakyat setempat dan karena itu juga dapat mengundang kesetiaan untuk selalu menaatinya?

Hukum negara yang tak berkesusaian dengan hukum rakyat seperti itu tentu saja acap kali condong untuk tak akan dipilih rakyat, atau kasarnya terkadang malah akan memeproleh perlawanan dari bawah. Sekalipun hukum negara itu ditopang oleh organisasi eksekutif, namun karena pada umumnya hukum negara ini kurang dikenal atau dipandang kurang menguntungkan masyarakat luas, maka hukum negara ini condong untuk terabaikan begitu saja. Dalam praktiknya, misalnya dalam hal adanya undang-undang mengenai soal “bagi hasil” yang menghakkan tidak lagi 2 untuk pemilik tanah dan 1 untuk penggarap, melainkan 1 untuk pemilik tanah dan 1 untuk penggarap, warga masyarakat didesa akan tetap saja membagi hasil dengn cara 2 banding 1, dan pra penggarap ini pun sering tak hendak mencoba protes dengan merujuk ke hukum negara (mungkin kaena tak mengetahui hak-hak baru ini, atau mungin juga merasa asing dan tak tahu cara merealisasi hak-haknya yang baru itu. Warga-warga masyarakat, sebagai misal lain, akan tetap memandang benar bhwa pria harus tetap berkemudahan apaabila terpaksa menceraikan isterinya seperti hari-hari yang lalu sebagimana yang telah diajarkan, atau untuk tetap bisa mengawini 2-3 wanita sesuai dengan kemungkinan yang telah diberikan oleh adat dan agamanya (asal adil) dan tak mau peduli dengan apa yang telah dibatas-bataskan oleh hukum negara, atau juga untuk mengawinkan anak-anak perempuan sekalipun masih berumur 12-13 tahun.

Menghadapi kenyataan seperti ini, sanksi hukum negara seakan-akan kehilangan legitimasinya dan kehilangan pula daya keefektifannya. Persoalan memang bukan lagi berupa pelanggaran hukum oleh seorang dua orang yang tak berkesadaran hukum (yang – kalu saja demikian – tentunya akan dikoreksi dengan penjatuhan sanksi terhadapnya. Persoalan yang paling mendasar adalah persoalan keyakinan dan kesadaran hukum rakyat uyang diambil sebagai premis kebijakan ini adalah yang kerkeadaan plural dalam soal budayanya, sekalipun satu dalam makna politik dan pemrintahannya.

Tak pelak lagi, maslah yang dihadapi oleh pemerintah di Indonesia dewasa ini akan bebeda dengan apa yang pernah dihadapi oleh sarjana-sarjana yang bersemangat nasionalisme pada zaman pemerintahn Hindia Belanda, yang ketika itu berserempak menjadi penganjur-penganjur dipertahankannya hukum adat – yang berarti juga mempertahankan kemajemukan – untuk menghadapi hukum Belanda. Halnya juga berbeda dari apa yang dialami Napoleon pada awal perkembangan unifikasi hukum nasional di Prancis. Persoalannya justru lebih mirp persoalan konflik hukum di Austria sebagimana telah dilaporkan Ehrlirch pada waktu yang lalu. Maka, persoalan demikian itu jelas kalu memerlukan penyelesaian bestrategi jangka panjang: bukan mengutamakan pemaksaan dengan penerapan sanksi yang tegas, melaikan mengutamakan usaha mensosialisaikan “hukum baru yang nasional” itu melalui aktivitas-aktivitas berencana yang disebut penyluhan. Aktivitas seperti ini tentulah bertujuan tunggal, ialah terbangkitnya kesadran hukum yang baru. Upaya seperti ini tak pelak harus dipandang juga sebagi bagian dari aktivitas pendidikan politik dan pembangunan budaya baru yang bertaraf nasional daripada yang berformat subnasional.

Tantangan Kini dan Masa Datang

Tetapi mungkinkah? Lagi pula, mudahkah? Bukankah mengajarkan sesuatu pemahaman baru itu juga bearti mengajak orang melupakan ajaran yang lama, dan jistru belajar melupakan itu yang sebenarnya lebih sulit? Tidaklah akan lebih relistis dan arif untuk memberikan saja terwujudkannya kemajemukan pada tatarn lokal – yang karena itu lebih terinterpretasi dan berguyung sambut dengan budaya hukum rakyat setempat – sekapun tetap mencita-citakan kesatuan pada tartan nasional? Tidaklah anjuran kebijakan untuk to think nationally, but to act locally patu dipertimbangkan kembali di sini?

            Sesungguhnya penyuluhan-penyluhan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat aparat pemerintah dewasa ini bertujuan tak hanya sekedar menghakbarkan hukum-hukum baru kepada masyarakat, melainkan lebih jauh daripada itu. Ialah kaidah-kaidah baru itu penting tidak cuma agar diketahui melainkan juga mesti diperhatikan agar seseorang tidak mengalami kesulitan di tengah kehidupan bernegara yang di upayakan tertib pada tartan nasional ini. Ditujukan dengan berbagai pengalaman bahwa hukum negara memang bisa diabaikan dan tidak perl diketahui atau diperhatikan selama seseorang tak hendak terliabat dengan atau ke dalam kehidupan bernegara, atau tak hendak memerlukan fasilitas bantuan jasa aparat pemerintah negara. Kewajiban yang diharuskan hukum negara kepada setiap warga untk mencatatkan kelahiran anak atau pernikahan yang dijalani, misalnya, dapat saja diabaikan untuk senebtara; akan tetapi begitu sang anak sudah memerlukan sekolah, atau isteri memerlukan pengakuan sah guna memperoleh (misalnya) tunjangan, maka akan mulailah timbul kesulitan sebagai akibat pengabaiannya pada ketentuan kaidah hukum negara selam ini.

Sekalipun dalam penegembangan hukum nasional dewasa ini pemerintah berposisi ofensif, ditunjang oleh struktur dan personil permerintahan atau organisasi eksekutif yang kuat, namun upaya-upaya untuk menyadarkan rakyat agar segera meresepsi hukum negara (untuk tidak secara berterusan bersikukuh secara konservatif pada hukum lokalnya saja) bukannya akan serta merta akan mudah. Merekayasa budaya dan mengubah keyakinan serta perilkau sekelompok warga masyarakat memang merupakan tugas berat dan berjangkan panjang. Pada akhirnya senua upaya itu adalah juga upaya menumbuhkan kesadaran berbangsa dalam suatu kehidupan bernegara bangsa dan untuk berkesetiaan baru: tidak lagi mengutamakan masyarakat-masyarakat suku setempat akan tetapi mengutamakan masyarakat baru yang disebut mayarakat nasional yang “dari Sabang samapai Merauke, dan dari pulau Miangas sampai ke pulau Rote” itu. Sekai lagi harus dikatakan di sini bahwa upaya seperti itu tidak akan mudah. Tatkala dalam kehidupan berbangsa denagn bersarankan hukum nasional itu kepentingan dan kebutuhan hukum masyarakat-masyrakat lokal justru kurang terpenuhi, sedangkan hukum-hukum lokal yang tertulis terbukti selama ini tidak hanya murah akan tetapi juga terasa lebih melindungi kepentingan-kepentingan setempat, maka selama itu kesadaran yang lama itulah yang akan lebih kuat bertahan.

Yang masih juga harus diingat dan dipikirkan pada masa ini adalah kenyataan bahwa kini – berbeda dengan zaman awal pertumbuhan negara-negara nasional di Eropa – kehidupan pada tataran nasional bikanlah satu-satunya alternative yang hendak mengatsai kehidupan yang lokal itu. Kini kehidupan telah kian marak dalam format-formatnya yang global, seoalah menawarkan alternative baru yang tak cuma hendak mengatsai kehidupan yang lokal melainkan juga yang nasional. Dalam suasana kehidupan yang kian terasa menuju ke suasana oen worl, differrnt but not divieded dewasa ini, terjadilah suatau paradoks bahwa yang terkesan akan terjadi demikian dalam suasana yang nasional dan modern (serta anti-tradisi itu dalam praktiknya), melaikan hidup kembali untk koeksis sebagai alternative yang dapat pula dipilih dalam kehidupan ini. Tatkala terbukti bahawa selama ini modernisme – dan dengan demikian juga hukum nasional yang konon modern itu, — tak mampu memecahkan seluruh persoalan kemanusaian, tak hanya apa yang global (dengan semangat postmodernnya) melainkan juga yang lokal (dengan tema-tema premodernismenya) berani bangkit untuk menawarkan alternative dalam kehidupan budaya, sosial, politik, ekonomi dan hukum kepada umat manusia.

            Tatkala kehidupan berskala global ini yang akan pertama-tama terwujud adalah suatu global society yang akan membebaskan jutaan manusia dari ikatan-ikatan aturan hukum nasional yang berhakikat sebagai mekanisme kontrol di tangan penguasa-penguasa negara, dan bukan suatu global state, maka otonomi-otonomi pengaturan pada skala mikro “untuk kalangan sendiri” boleh diramalkan akan lebih banyak terjadi.  Ajudikasi-ajudikasi oleh badan-badan peradilan yang terikat untuk merujuk ke hukum (negara) nasional diramalkan akan banyak mundur, untuk lebih luwes.  Hukum serba baku yang dibuat oleh kekuasaan-kekuasaan sentral diramalkan – sekalipun dalam rentang waktu yang tak mudah dikatakan – akan kian berkurang, sedangkan kesempatan-kesempatan kotraktual de novo akan lebih banyak dilakukan. Kalaupun ada pihak ketiga yang terpaksa diundang untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari kontrak-kontark itu, maka badan-badan srbitrase akan cenderung lebih banyak dipilih daripada penyelesaian-penyelesaian lewat badan-badan peradilan nasional.

Makin cepat berkembangnya the global society disatu pihak, dan makin cepat pula surutnya kemampuan dan peran the nation state dalam hal ihwal penataan kehidupan sosial – ekomini yang menjamin kesejahteraan hidup di lain pihak, akan makin cepat pula satuan-satuan parastatal di dunia yang telah “mengglobal” ini menemukan otonominya untuk mengembangkan aturan-aturannya sendiri,” untuk kalangan sendiri”. Sementara itu, pada skala-skala kehidupan yang lebih lokal, pembebasan diri dari jankauan hukum nasional akan pula tatap berlangsung. Kalupun tak hanya berupa resistensi-resitensi cultural yang tak terorganisasi (sebagaimana telah dibentangkan dalam paragraph-paragrap awal dimuka), berbagai institusi lokal dengan fungsinya untuk menyelesaikan perkara-perkara lokal dipraktikkan akan banyak pula terbentuk. Inilah ragam institusi-institusi sosial yang oleh Sally Falk-Moore disebut the autonomous self regulating mechanism

ooooo

Leave a comment